Ilmu Budaya Basar
Bag 1
Bag 1
Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya
Ilmu pengetahuan tercipta karena adanya kebutuhan manusia untuk menguasai alam semesta dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia, ilmu pengetahuan pun berkembang dengan sangat pesatnya.
Ilmu pengetahuan tidak selalu membuat manusia menjadi lebih beradab dan mencapai kesempurnaan hidup, tetapi ilmu pengetahuan juga dapat menjadi bencana bagi manusia dan lingkungannya jika dikelola oleh manusia yang tidak memiliki moral kemanusiaan.
Meskipun secara umum ilmu pengetahuan lebih banyak manfaatnya bagi kehidupanmanusia, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri bukannya tanpa kritik.
Kalangan postmodernisme mengkritik ilmu pengetahuan modern yang dianggap mereka telah gagal membentuk kepribadian manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan modern pada sisi lain telah membuat pribadi manusia terpecah-belah oleh kepentingankepentingan bisnis, sehingga manusia tidak lagi memiliki jiwa yang independen.
1. ILMU PENGETAHUAN DAN KITA
Ilmu pengetahuan berkembang karena ada kebutuhan manusia untuk dapat mempertahankan diri. Untuk dapat bertahan, manusia harus dapat menguasai alam semesta. Penguasaan terhadap alam semesta itu dilakukan dengan tidak merusak tatanan alam itu sendiri. Kerusakan terhadap tatanan alam akan berdampak pada kehidupan umat manusia. Agar penguasaan alam semesta tidak bertampak pada perusakan, maka penguasaan terhadap ilmu pengetahuan perlu dibaringi dengan norma dan etika.
Ilmuwan harus mempunyai norma dan etika. Tanpa norma dan etika, ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi keserakahan orang-orang tertentu yang lebih kuat Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia dengan tetap mempertimbangan harmoni antara kehidupan umat manusia dan alam sekitarnya.
2. HAKIKAT MANUSIA
Berbicara tentang manusia maka satu pertanyaan klasik yang sampai saat ini belum memperoleh jawaban yang memuaskan adalah pertanyaan tentang siapakah manusia itu. Banyak teori telah dikemukakan, di antaranya adalah pemikiran dari aliran materialisme, idealisme, realisme klasik, dan teologis.
Aliran materialisme mempunyai pemikiran bahwa materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan dan semua peristiwa terjadi karena proses material ini, sementara manusia juga dianggap juga ditentukan oleh proses-proses material ini.
Sedangkan aliran idealisme beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Aliran realisme klasik beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan aliran teologis membedakan manusia dari makhluk lain karena hubungannya dengan Tuhan.
Di samping itu, beberapa ahli telah berusaha merekonstruksikan kedudukan manusia di antara makhluk lainnya. Juga berusaha membandingkan manusia dengan makhluk lainnya. Dari hasil perbandingan tersebut ditemukan bahwa semua makhluk mempunyai dorongan yang bersifat naluriah yang termuat dalam gen mereka. Sementara yang membedakan manusia dari makhluk lainnya adalah kemampuan manusia dalam hal pengetahuan dan perasaan. Pengetahuan manusia jauh lebih berkembang daripada pengetahuan makhluk lainnya, sementara melalui perasaan manusia mengembangkan eksistensi kemanusiaannya.
3. HAKIKAT KEBUDAYAAN
Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat. Beberapa ahli ilmu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut.
Akan tetapi ternyata definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behaviorisme/materialisme. Dari berbagai definisi yang telah dibuat tersebut, Koentjaraningrat berusaha merangkum pengertian kebudayaan dalam tiga wujudnya, yaitu kebudayaan sebagai wujud cultural system, social system, dan artifact.
Kebudayaan sendiri disusun atas beberapa komponen yaitu komponen yang bersifat kognitif, normatif, dan material. Dalam memandang kebudayaan, orang sering kali terjebak dalam sifat chauvinisme yaitu membanggakan kebudayaannya sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Seharusnya dalam memahami kebudayaan kita berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif, universal, dan counterculture.
4. MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick Hartoko bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan.
Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan. Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian prosentasenya sangat kecil. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi.
Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu, sebagai :
a) penganut kebudayaan,
b) pembawa kebudayaan,
c) manipulator kebudayaan,
d) pencipta kebudayaan.
Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka survive maka manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara.
Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
5. PENGERTIAN KASIH SAYANG, CINTA KEMESRAAN DAN PEMUJAAN
Kasih sayang, dan cinta merupakan milik semua orang. Manifestasi dari kasih sayang dan cinta dapat menciptakan lingkungan yang tenteram. Karena setiap individu menyadari makna yang paling hakiki dari rasa kasih sayang dan cinta. Dengan kasih sayang kita akan selalu menghargai karya orang lain.
Dengan cinta kita selalu menjaga lingkungan yang harmonis. Lingkungan yang harmonis berarti lingkungan yang berimbang dan jauh dari perusakan. Kemesraan merupakan perwujudan kasih sayang yang mendalam. Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas manusia, yang berwujud bentuk seni. Bentuk seni dapat berbentuk seni rupa, seni pahat, seni sastra, seni suara. Pemujaan merupakan perwujudan cinta manusia kepada Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan ini oleh manusia di antaranya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pemujaan atau yang lebih kita kenal sebagai tempat beribadah.
6. MANUSIA DAN KEINDAHAN
Merenung artinya secara diam-diam memikirkan sesuatu hal kejadian dengan mendalam. Renungan adalah pembicaraan diri kita sendiri atau pembicaraan dalam hati kita tentang suatu hal.
Setiap kegiatan untuk merenungkan atau mengevaluasi pengetahuan yang telah dimiliki disebut dengan berfilsafat. Jadi berfilsafat adalah terjadinya proses pembicaraan, evaluasi dengan hati kita sendiri mengenai suatu peristiwa. Contoh hasil renungan yang menghasilkan pengetahuan yaitu Newton dengan gaya gravitasinya.
Keindahan adalah suatu susunan keserasian yang dapat menciptakan kesenangan bagi penglihatan dan pendengaran. Kehalusan merupakan sikap yang lembut dalam menghadapi orang lain. Lembut dalam mengucapkan kata-kata, lembut dalam sikap anggota badan. Sikap halus dan lembut merupakan cermin hati yang tulus serta cinta kasih terhadap sesama.
7. KEGELISAHAAN
Berbicara tentang manusia, berarti berbicara pula tentang media tempat manusia hidup. Media tempat manusia hidup adalah dunia. Untuk bisa memahami hakikat manusia maka harus pula memahami hakikat dunia dan hakikat kehidupan manusia di dunia.
Konsep yang dapat digunakan untuk memahami hal itu adalah konsep kosmologi, yaitu bagaimana manusia harus mengembangkan sikap hidupnya sehubungan dengan kedudukannya sebagai mikrokosmos.
Konsep yang lainnya adalah konsep ‘mendiami dunia’ sebagaimana yang dikemukakan oleh Huijbers.
Pada dasarnya konsep mendiami dunia mengandung arti pemenuhan kebutuhan atas aspek-aspek yang membentuk manusia.
Kesadaran manusia akan hakikatnya sebagai bagian dari kosmologi dan perannya sebagai mahluk yang ‘mendiami dunia’ maka lahirlah beberapa konsep yang dipakainya sebagai dasar manusia hidup.
Konsep-konsep tersebut adalah hidup sekedarnya, takdir, dan cakra manggilingan.
Apabila manusia tidak bisa menjaga hakikat dirinya dan hakikat hidupnya maka yang timbul adalah kegelisahan. Sumber dari kegelisahan adalah hawa nafsu dan sikap pamrih (tidak ikhlas).
Kedua hal ini akan menyebabkan munculnya sikap keserakahan dan konflik. Keserakahan dan konflik akan memunculkan ketakutan, kekecewaan, dan pada akhirnya adalah kegelisahan.
8. PENDERITAAN
Terdapat berbagai alasan yang dapat mengakibatkan penderitaan, yaitu alasan fisik dan alasan moral.
Di samping itu penderitaan sebenarnya merupakan kelanjutan dari kegelisahan, artinya kegelisahan yang tidak bisa dikendalikan akan mengakibatkan penderitaan.
Selain kegelisahan, penderitaan juga disebabkan karena kekecewaan, yaitu apa yang diharapkan ternyata tidak diperoleh. Jadi penderitaan juga berhubungan dengan pamrih. Penderitaan juga berhubungan dengan ketakutan. Orang yang selalu merasa takut akan hidup menderita. Penderitaan yang menimpa hidup manusia banyak berhubungan dengan ‘daya hidup’ yang menjelma menjadi hawa nafsu.
Terdapat berbagai daya hidup yaitu daya hidup raewani, nabati, haewani, jasmani, rohani, rohmani, dan robbani. Daya hidup ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesempurnaan hidup manusia yaitu tingkat An Nafs al Ammarah, al Lawwamah, al Mulhima, al Qana’ah, al Mut’mainnah, al Radiyah, dan al Kamilah. Untuk bisa menuju kesempurnaan hidup di mana hidup sudah tidak mengenal lagi kegelisahan dan penderitaan maka orang harus melakukan olah batin. Olah batin tersebut adalah dalam rangka menghilangkan nafsu dan pamrih. Terdapat olah batin yang harus diikuti supaya kesempurnaan jiwa dapat dicapai, yaitu mengembangkan sikap selalu instrospeksi, sabar, nrimo, dan ikhlas.
Sumber Buku Ilmu Budaya Dasar Karya Yulia Budiwati dkk
Ilmu Budaya Dasar
Bag. 2
MANUSIA DAN KEADILAN
Kriteria keadilan sangat beragam.
Tidak ada satu pun kriteria baku yang sifatnya universal yang dapat menjelaskan konsep keadilan. Bagi kaum Sophis yang oportunis keadilan sangat subjektif. Bagi Socrates, Plato, dan Aristoteles keadilan mengacu kepada kepentingan orang banyak. Sedangkan bagi Aquinas yang berpandangan finalistik, keadilan adalah pemberian hak kepada setiap orang sesuai dengan kewajibannya.
Akan halnya Machiavelli yang berpandangan naturalistik, maka keadilan akan terwujud apabila keinginan-keinginan pribadi juga terwujud dan untuk mewujudkannya diperlukan kekuasaan karena dengan kekuasaan, ambisi pribadi akan tercapai.
Sedangkan bagi Hobes yang materialistis, yang mengukur segala sesuatu dengan materi, keadilan akan tercipta apabila ada aturan yang mengatur perilaku manusia karena tanpa aturan yang dibuat manusia akan saling membinasakan.
Dari pandangan di atas, ada benang merah yang dapat ditarik bahwa pada hakikatnya keadilan selalu mengacu kepada (adanya keseimbangan antara) hak dan kewajiban.
Meskipun tidak secara gamblang dinyatakan mengenai kewajiban-kewajiban itu tetapi apabila berbicara mengenai hak, maka secara implisit tersirat adanya kewajiban meskipun hak dan kewajiban itu sendiri juga sangat subjektif sifatnya.
MANUSIA DAN HARAPAN
Ada hubungan antara keadilan dan harapan yaitu bahwa keadilan memberikan harapan, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hidup sehari-hari.
Lalu bagaimana harapan dapat diwujudkan? Hal ini perlu konsensus dan komitmen dari semua orang.
Harapan adalah keinginan dalam mewujudkan cita-cita kita. Keinginan untuk memenuhi semua kebutuhan manusia yang monopluralis dan kebutuhan itu tertuang dalam moralitas Pancasila (lihat P4). Jadi sesungguhnya, Pancasila adalah harapan (bangsa Indonesia) untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Untuk mewujudkan harapan ini, peran pemimpin sangat penting. Pemimpin harus menjadi patron, menjadi teladan, menjadi contoh rakyatnya. Karena semua tindakannya itu menjadi sorotan rakyat, maka segala perilaku dan tindakannya itu harus dilandasi dengan nilai-nilai moral, dalam hal ini moralitas Pancasila.
Tujuan dari upaya-upaya dalam mewujudkan harapan seluruh rakyat bangsa Indonesia sesungguhnya adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PANDANGAN HIDUP
Kesadaran pada hakikatnya akan selalu melibatkan akal manusia. Dengan kesadaran, manusia dapat memahami semua perilaku dan tindakannya. Hanya saja untuk selalu bertindak dan berperilaku baik, manusia harus memiliki tidak saja kesadaran semata tetapi lebih dari itu adalah kesadaran moral. Atas dasar kesadaran moral itulah manusia dapat memilih tindakan yang baik atau buruk. Dengan kesadaran moral ini manusia akan merasa wajib untuk berbuat baik tanpa paksaan dan tekanan dari pihak mana pun juga. Semua didasarkan atas keputusan hati nuraninya sendiri. Di sini, perbuatan baik manusia itu bersifat ‘imperatif kategoris’.
Manusia berbuat baik karena memang sudah seharusnya ia berbuat baik dan apabila ia tidak berbuat baik itu merupakan suatu pelanggaran moral.
Unsur-unsur kesadaran moral (moral conscience) itu ada tiga, yaitu
1) kewajiban,
2) rasional, dan
3) kebebasan.
Kesadaran moral memang hanya dimiliki oleh manusia yang berakal, mempunyai perasaan, dan memiliki kehendak yang bebas (otonomi) untuk selalu mewujudkan perbuatan baik semata.
Sedangkan moralitas seseorang itu dapat digolongkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu
1) Instinctive morality level pada level ini moralitas seseorang berada pada tingkatan terendah yang sifatnya naluriah/hewani,
2) Customary morality level, di sini, moralitas seseorang didasarkan kepada adat kebiasaan atau adat istiadat suatu masyarakat, dan
3) Conscience morality level, ini adalah kesadaran moral yang dalam realisasinya selalu bergerak di atas kaidah-kaidah moral.
Bahwa manusia berbuat baik itu karena memang sudah merupakan kewajiban dan apabila tidak, maka ia telah melanggar norma-norma moral yang berlaku. Kebajikan artinya kebaikan. Berbuat kebajikan artinya berbuat kebaikan.
Manifestasi dari perbuatan baik adalah melakukan perbuatan-perbuatan baik yang dilandasi dengan kesadaran moral.
Dengan demikian kita akan selalu merasa wajib melakukan perbuatan baik.
Apabila kita tidak melakukan perbuatan baik maka kita merasa bahwa itu merupakan suatu kesalahan.
Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan itu tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang ada dan berlaku (norma moral, norma hukum, dan norma agama).
Hakikat kodrat manusia itu adalah 1) sebagai individu yang berdiri sendiri (yang memiliki cipta, rasa, dan karsa), 2) sebagai makhluk sosial yang terikat kepada lingkungannya (lingkungan sosial dan alam lingkungannya), dan 3) sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Perbuatan-perbuatan baik manusia haruslah sejalan, sesuai dengan hakikat kodratnya itu.
Norma-norma yang dihadapi manusia itu ada yang bercorak moral yaitu kewajiban moral, dan nilai moral (deontic judgements, dan areatic judgements), dan ada yang bercorak bukan moral (nilai yang nonmoral) yang sifatnya teknis belaka dan tidak mengandung pertimbangan-pertimbangan penilaian.
Norma-norma moral juga ada yang bersifat evaluatif, artinya norma-norma itu berlaku dan dianggap baik bagi komunitas tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada suatu saat dapat saja berubah, tidak lagi dapat diberlakukan karena mungkin sudah dianggap tidak baik lagi, atau norma-norma itu dapat berlaku baik bagi komunitas tertentu, tetapi belum tentu baik bagi komunitas lain.
Sebagai catatan, selain kebaikan yang sejati ternyata ada juga kebaikan semu.
Kebaikan semu ini suatu perbuatan baik yang dilakukan seseorang tetapi untuk memperoleh imbalan, baik imbalan yang berupa materi maupun yang nonmateri.
Pada hakikatnya, pengabdian adalah perwujudan dari rasa dan sikap setia untuk melayani dengan penuh hormat, percaya, tulus, dan ikhlas.
Pengabdian mencakup beberapa hal, antara lain 1) pengabdian kepada kebaikan (itu sendiri), 2) pengabdian kepada keluarga, 3) pengabdian kepada masyarakat, 4) pengabdian kepada negara dan bangsa, 5) pengabdian kepada Tuhan atau agama.
Ungkapan “Manunggaling kawula Gusti” sesungguhnya mengandung beberapa makna yang sesuai dengan makna pengabdian, antara lain kesesuaian antara sifat-sifat (baik) Tuhan dengan perilaku dan tindakan manusia perilaku dan tindakan manusia sesuai dengan sifat-sifat baik Tuhan.
Ungkapan itu juga mengandung makna bahwa manusia haruslah memelihara alam tempat mereka tinggal
SIKAP HIDUP
Cita-cita dan pengorbanan bagaikan mata uang dengan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan.
Cita-cita dan pengorbanan meliputi beberapa hal, antara lain (a) cita-cita (dan pengorbanan) atas (egoisme) diri, (b) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap keluarga, (c) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta (d) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap agama (Tuhan).
Ungkapan ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ selain menggambarkan sikap pantang putus asa dalam berusaha, dalam mengejar cita-cita, hal itu juga meggambarkan keikhlasan kita dalam memperoleh imbalan atau reward sesuai dengan usaha yang kita kerjakan.
Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya.
Berbicara hak, berarti berbicara mengenai kewajiban, dan sebaliknya.
Di dalam hak terkandung kewajiban.
Sebaliknya, di dalam kewajiban terkandung pula hak, dan inilah yang dinamakan keadilan.
Keadilan yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban secara seimbang dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang dengan kesadaran moral yang tinggi akan melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut haknya.
Menurut von Magnis, kewajiban merupakan perasaan wajib untuk melaksanakan tindakan bermoral.
Ini sesuai dengan pendapat Kant yang menyatakan bahwa kewajiban itu bersifat imperatif kategoris.
Kewajiban bersifat objektif universal, artinya berlaku tetap dan bagi siapa saja serta tidak terikat ruang dan waktu.
Selain itu,kewajiban bersifat rasional atau masuk akal.
Dalam kerangka hak dan kewajiban, manusia diberi otoritas penuh untuk memilih dan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya.
Tetapi harus diingat bahwa setiap pilihannya akan dikenai penilaian moral yang konsekuensinya akan terkena sanksi moral, hukum (positif), dan agama (hukum Tuhan).
Sesuai dengan sifat kodratnya sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, manusia diberi otoritas untuk menentukan pilihan.
Kebebasan dan tanggung jawab adalah salah satu ‘alat uji’ dari kewenangan dalam memilih yang dimiliki manusia.
Pada akhirnya, kebebasan selalu diikuti oleh tanggung jawab sebagai konsekuensi moral yang harus ditanggung.
Manusia memang bebas untuk memilih, hanya saja pilihan itu tetap di dalam kerangka etik (etika pribadi, etika sosial, dan etika theistic) yang ada dan berlaku.
Sumber Buku Ilmu Budaya Dasar Karya Yulia Budiwati dkk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar