Selasa, 27 Januari 2009

BUDAYA LINGKUAN HIDUP 2

Persepsi Orang Timor Lorosa'e Tentang
KEBUDAYAAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

1.Pengantar

Tulisan ini membahas persepsi orang Timor Lorosa’e tentang arti budaya dan lingkungan hidup.
Pembicaraan mengenai “budaya dan lingkungan hidup” di Timor Lorosaè diwarnai/dipengaruhi oleh dua jalur pikiran dalam masyarakat Timor Lorosa’e. Pendapat pertama berasal dari mereka yang dianggap berpendidikan atau mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendapadt kedua adalah pandangan masyarakat yang hidup di pedesaan, orang biasa termasuk para penguasa hukum tradisional (makaer fukun, lia nain)2 . Saya akan mengantisipasi pembahasan ini dengan menyatakan bahwa pendapat kelompok kedua sangat dominan dalam wacana persepsi masyarakat Timor Lorosa’e mengenai budaya dan lingkungan hidup, meskipun pendapat pertama mulai mendapat perhatian serius dalam masyarakat.
Dalam tulisan ini, terlebih dahulu saya ingin membahas secara ringkas mengenai ke dua pendapat yang berbeda diatas. Kemudian saya akan membahas dengan lebih terinci mengenai “persepsi umum” masyarakat terhadap budaya dan lingkungan hidup. Bagian ketiga dari makalah ini menaruh perhatiannya pada tahap-tahap pengembangan lingkungan hidup di Timor Lorosa’e, dan akhirnya, pada persepi masyarakat Timor Lorosa’e mengenai masalah-masalah lingkungan hidup.

II. Budaya: Persepsi Lokal

Ada dua pendapat yang berbeda mengenai makna budaya di masyarakat Timor Lorosae.
Yang pertama berasal dari sekelompok orang yang saya namai kelompok masyarakat Timor Lorosa’e yang berpendidikan. Untuk kelompok ini budaya merupakan proses (Ahmadi 1985; Daryanto, 1972 Geertz, 1973) yang meliputi evolusi, menjalankan fase perubahan dan inovasi sesuai dengan berjalannya waktu, pola pikir masyarakat, dan pengembangan teknologi.
Pandangan yang kedua mencakup pandangan bahwa budaya merupakan aturan-aturan sosial yang ditentukan oleh nenek moyang; suatu tradisi yang diwarisikan oleh nenek moyang sejak dulu. Dari segi ini, budaya tidak dipandang sebagai proses atau sistim yang berubah-ubah. Sebaliknya budaya merupakan aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang menentukan kelakuan sosial. Aturan/kebiasaan ini harus dihormati dan dipegang erat oleh setiap anggota masyarakat. Orang yang menganut pandangan ini, dikenal sebagai ‘orang yang bertradisi’, percaya bahwa bila tradisi dan budaya tidak dihormati akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosial; Selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya bencana alam, kegagalan musim panen, kelaparan, penyebaran penyakit menular dan kematian. Semua ini berakar pada budaya yang merupakan tradisi yang diwarisi dari “sumber”, dari “asalnya” dan dari nenek moyang.
Pikiran yang ditata berdasarkan pandangan masyarakat yang berorientasi kepada dominasi hak mutlak ‘lelaki” merupakan cara berpikir utama di masyarakat Timor Lorosa'e pada umumnya. Misalnya, garis keturunan diambil dari garis keturunan laki-laki dan anak laki-lakilah yang mempunyai akses terhadap warisan keluarga. Laki-laki diberi tugas melindungi perempuan dan lingkungan hidup. Suatu garis keturunan selalu dapat diusut ke atas yaitu pada Aman Boot, Katuas Boot (mambae: tata-mai) atau “Bapak Besar” atau “Nenek Moyang Besar” dari suatu klan, dan umumnya berkelamin “pria”. Pandangan demikian dianggap sebagai “berakar” pada “budaya” asli dan dalam kenyataannya diikuti sebagian besar anggota masyarakat.
Saya tidak ingin mengajak anda untuk berdebat secara antropologis mengenai konsep budaya. Namun secar umum kedua pendapat tersebut menunjukkan perbedaan pandangan dari dua kelompok di Timor Lorosa’e.
Pertanyaannya adalah: pandangan yang mana yang dipegang paling banyak orang di masyarakat Timor Lorosa’e?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melakukan penyelidikan antropologi yang lebih mendalam. Tetapi kenyataan bahwa 70% dari penduduk Timor Lorosa’e tinggal di daerah pedesaan dan kebanyakaan penduduk kota berasal dari daerah pedesaan, menunjukkan bahwa pendapat tradisional mengenai budaya merupakan pendapat dominan dan banyak diikuti di Timor Lorosa’e
saat ini.

III. Lingkungan Hidup: Pandangan Lokal

Sekarang mari kita bicara mengenai lingkungan hidup. Dalam bahasa Tetum (bahasa utama di Timor Lorosa’e) tidak terdapat kata yang bisa diterjemahkan sebagai lingkungan hidup.
1.Untuk masyarakat Timor Lorosa’e yang berpendidikan, lingkungan hidup diterjemahkan sebagai ‘ambiente’ (bahasa Portu) dan dalam bahasa Indonesia sebagai lingkungan (tempat tinggal, tempat sekeliling), sekeliling atau disamakan artinya dengan ‘ekosistem’. Pembicaraan mengenai lingkungan hidup di kelompok ini lebih menekankan pada arti akedemisnya daripada hipotesa kosmoslogisnya.
2.Tetapi, untuk kelompok yang kedua, lingkungan hidup merupakan potret atau cerminkan cara mereka melihat dunianya. “Lingkungan hidup” didefinisikan sebagai tempat yang meliputi “kosmos” (lalehan, saun) dan jurisdiksi territorial (rai). Termasuk didalamnya “tempat lahir, tempat asal, tempat tinggal” (moris fatin, hela fatin) yang merupakan tempat asal nenek moyang mereka. Apa pun yang termasuk dalam masalah lingkungan hidup mempunyai tempat khusus atau diatur atau telah digariskan melalui “kata-kata nenek moyang”. Pengaarisan ini merupakan aturan-aturan dan pedoman yang diwariskan dan yang dipandang oleh kebanyakan masyarakat Timor Lorosa’e sebagai aturan sosial dan mengatur kehidupan sosial.
Bagaimana hubungan pandangan ini dengan pembangunan berkelanjutan dalam konteks sekarang?

IV. Menyamakan Pandangan Budaya dan Lingkungan Hidup

a. Dwi Sifat
Seperti sudah dibahas, pandangan masyarakat Timor Lorosa’e dipengaruhi oleh cara mereka melihat dunia – lingkungan hidup – dimana mereka tinggal.
Kiasan/metafor yang saling berlawanan (contradictive) tetapi sejajar (parallel) merupakan ciri dari pikiran sosial masyarakat Timor Lorosa’e. Gabungangabungan seperti “baik/buruk”, “kiri/kanan”, “pria/wanita”, “siang/malam” merupakan cara yang digunakan masyarakat Timor Lorosa’e untuk melihat dunia mereka. Jadi agar ada “baik” harus ada “buruk”. Demikian pula, “siang-hari” tidak bisa ada tanpa “malam” dan “pria” tidak akan ada tanpa “wanita” dan sebaliknya budaya tidak mungkin bertahan tanpa menata linkungan hidup dengan baik. Sehingga lingkungan, menurut pola pikiran orang Timor, mungkin tidak ada tanpa budaya yang merupakan warisan nenek moyang dan sebaliknya. Semua metafor ini memberikan gambaran akan cara pandang masyarakat tentang lingkungan hidup dan tempat tinggal masyarakat Timor Lorosa’e (lihat Traube, 1977, McWilliam (1989), Therik,
1995).

b. Posisi Lingkungan Hidup: Persepsi Tradisional
“Lingkungan hidup” digambarkan berada di antara kelakuan “baik” dan “buruk”. Lingkungan hidup dapat dilindungi dan diperkenankan mempelihara kehidupan apabila kekuasaan “niat baik” berdiri teguh dan mampu melawan kelakuan “buruk”.
Yang dimaksud dengan “baik” disini meliputi perlindungan terhadap sumber daya, perhatian dan perlindungan tanah dan segala-galanya yang berada di dalamnya. “Baik” dapat juga berarti kekayaan – pertambangan, tanah, tumbuh-tumbuhan, kayu cendana – hasil panen yang baik dan sumber kesejahteraan. “Buruk” terkait dengan kebiasaan penggunaan tanah yang tidak baik, pembuangan sumber daya, erosi tanah dan semuanya yang terkait dengan, atau yang berakibat dari salah mengunakan tanah. Contohnya, hasil panen yang tidak baik, banjir, atau tanah longsor dan penurunan kualitas lingkungan hidup pada umumnya merupakan bagian dari sifat “buruk”.
Seperti sudah disinggung, istilah lingkungan alam meliputi tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan binatangbinatang yang berada di dalam wilayah sebuah suku. Pada zaman dahulu, orang berkata bahwa “lingkungan hidup saya juga adalah kebun saya dan sekitarnya” (hau nia quintal, hau nia tos) yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai lingkungan. Dalam satu pembicaraan dengan seorang pimpinan adat, seorang “liurai” di desa Matahoi, Watolari, 2000 mengutarakannya sebagai berikut:
Lingkungan hidup saya ada di tempat ini, dan telahada untuk banyak generasi, sejak zaman nenek moyang. Mereka tinggal di sini; mereka dikubur di sini. Merekalah yang memelihara kebun kita, pohon kita, kembang kita, binatang kita, air kita, dan hidup kita. Saya tidak boleh memberi tanah ini kepada orang lain. Kalau saya memberi tanah ini kepada orang lain, nenek moyang saya akan menghukum saya.
Di dalam setiap suku ada peraturan-peraturan yang sudah ditentukan mengenai bagaimana menggunakan sumber daya alam. Walaupun ada kekurang seimbangan – yang mungkin disebut beberapa orang sebagai ‘diskriminasi’ – dalam distribusi kekayaan antara laki dengan wanita, tugas sosial dibagikan berdasarkan pendekatan yang seimbang. Semua orang wajib melindungi ‘ekosistem’ (sistem lingkungan hidup). Lingkungan hidup itu dipelihara secara kolektif oleh suku sebab kehidupan kelompok sangat tergantung pada kehidupan lingkungan alam. Dampak negatif dari pembakaran dan pertengkaran yang muncul sebab pembakaran di tanah milik satu sama lain merupakan contoh mengapa masyarakat Timor Lorosa'e menganggap kerjasama penting sekali demi menanggani masalah seperti yang dimaksud3.
Langkah ini memperkenankan ketua suku untuk mengelola dan menguasai penggunaan sumber daya, dan dengan demikian melindungi tanah, oleh karena pembagian tanah yang jelas di bawah system hukum adat telah ada. Bahkan, struktur politik tradisional memberi mekanisme yang memperkenankan perlindungan. Dalam struktur tersebut, sebagai contoh, seorang liurai (traditional king) dibantu oleh beberapa datos. Salah satu datos ini deberi wewenang untuk melindungi lingkungan hidup. Seperti dikatakan seorang Liurai (wawancara, 2000), “Dia yang diberi kekuasaan untuk memelihara tanah, pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan, mata air, selokan dan pembagian tanah”

c. Pengembangan Masalah-Masalah Lingkungan Hidup
Setiap kelompok etnik yang berbeda mempunyai cara yang berbeda untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup. Demikain pula, suku Mambai mempunyai cara yang lain daripada suku Tetum, yang Tetum memakai cara yang lain daripada suku Fataluco dan sebagainya. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam hal penggunaan tanah, perbedaan iklim dan tumbuhtumbuhan yang berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Tidak adanya metode untuk pembersihan tanah, menanam dan teknik memanan secara moderen merupakan ciri khas dari sistem pertanian subsistensi (penyambung hidup) di Timor Lorosae. Akibat pendekatan tradisionil yang kurang baik ini tidak jarang menyebabkan hasil yang kurang baik dalam sistem pertanian dan perusakan tanah dan tumbuh-tumbuhan pada umumnya.
Keadaan ini diperparah lagi oleh pembangunan yang dilaksanakan di zaman penjajahan. Selama 20 tahun terakhir, cara memelihara lingkungan untuk kepentingan subsistensi gagal menanggulangi perusakan lingkungan secara besar. Di satu segi, dampak kimiawi dari bom-bom napalm (yang dilepas pesawat perang militer Indonesia) dan pemindahan penduduk tempat tinggal yang dipaksakan oleh militer Indonesia (Aditjondro a & b 1994) menyebabkan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup dan struktur sosial masyarakat dan skalanya begitu besar sehingga tidak dapat ditangani dengan cara tradisional. Di segi lain, praktek pembakaran tanah masih sering terjadi sebagai akibat dari kekurangan tenaga kerja dan keperluan tidak mengeluarkan banyak tenaga dan waktu. Potret kerusakan lingkungan seperti ini telah terjadi sejak lama.
Secara umum, terdapat tiga tahap pembangunan lingkungan hidup di Timor Lorosa'e.
Tahap pertama adalah tahap sebelum penjajahan Eropa. Laporan mengenai pembangunan lingkungan hidup selama periode itu susah dicari, dan hanya sedikit yang dapat diperoleh, namun sebahagian besar hanya bercerita tentang bagusnya hutan di Timor Lorosa’e, hijaunya pulau Timor Lorosa’e, banyaknya kayu cendana yang didapatkan dan budaya orang-orangnya yang bermacam-macam. Cerita awal dari orang Cina dan Portugis lebih menyoroti kesan-kesan pertama orang-orang asing ketika baru tiba di pulau ini (lihat Castro 1943). Nyatanya, selama periode itu, setiap suku menguasai lingkungannya sendiri, termasuk yurisdiksi politik, ekonomi dan sosial suku itu secara independen.
Tahap kedua adalah zaman penjajahan Eropa–utamanya penjajahan Portugis. Selama periode itu, tumbuh-tumbuhan setempat dieksploitasi oleh Portugis untuk tujuan perdagangan. Kepunahan beberapa jenis tanaman dan panen serta diperkenalkannya beberapa tanaman asing seperti kopi dan jagung terjadi pada waktu itu tidak begitu banyak diceriterakan dalam sejarah pengelolaan lingkungan. Lagi pula, perusakan dan penghancuran lingkungan hidup adalah akibat dari diperkenalkannya tanaman “pengganti” tersebut dan periode sesudahnya tidak terdokumentasi dengan baik.
Disamping itu, kehilangan jiwa, perusakan tumbuhan dan penderitaan masyarakat Timor Lorosa'e akibat dari pertempuran antara Australia dan Jepang di wilayah ini selama Perang Dunia II belum juga diselidiki untuk mengetahui imbasnya terhadap lingkungan hidup.
Tahap ketiga dari pembangunan lingkungan hidup adalah zaman penjajahan Indonesia. Dalam periode itu, ada penghancuran total pada lingkungan hidup di seluruh Timor Lorosa’e, baik disebabkan karena tindakan sengaja dari pemerintah dan militer Indonesia, maupun karena kekurangan pengertian dari masyarakat Timor Lorosa’e terhadap bagaimana melindungi lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi yang didorong oleh pemerintah Orde Baru memaksa masyarakat meninggalkan tanahnya. Juga, pemindahan penduduk secara paksa oleh militer memaksa orang-orang meninggalkan tanah sucinya. Pada waktu itu, cara pertanian tambang bakar masih digunakan; cara tradisional untuk membersihkan tanah seperti tambang bakar, yang digunakan supaya “tidak mengeluarkan banyak tenaga dan waktu”, tetap digunakan hari ini, dan membantu menyebabkan erosi tanah dan menghasilkan panen yang berkualitas rendah (lihat Aditjondro a & Aditjondro b, 1994).
Tiga tahap pembangunan yang disebut di atas hanyalah sedikit dari masalah besar yang akan tetap merupakan tantangan bagi para ahli lingkungan hidup, serta semua orang yang bekerja untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan hidup di negara baru ini.

V. Pentingnya Lingkungan Hidup: Persepsi Lokal

Apakah di masyarakat yang kehidupannya sekedar untuk penyambung hidup, pemeliharaan lingkungan hidup merupakan suatu kebiasaan secara umum? Pada umumnya, terdapat tiga persepsi dasar terhadap pertanyaan tersebut. Pertama, kehidupan sehari-hari. Misalnya, kebiasaan yang menyebabkan kerusakan tanah secara tradisional dianggap ‘melukai’ (halo a’at) tanahnya. Masyarakat Mambai melarang praktek tambang bakar karena dianggap merusak tanah, dan menyebabkan erosi dan tanah longsor. Suku Mambai lebih menyukai pembersihan tanah dengan memakai tangan. Walaupun demikian, masih terlihat di bukit di kaki gunung di Dili, seperti di tempat-tempat lain di Timor Lorosa’e, bahwa pembakaran sebelum penanaman jagung masih terjadi.
Kedua, terdapat kepercayaan bahwa tanah adalah “tubuh ibu”, dan “kita” sebagai anak-anaknya, seharusnya memelihara tubuh ibu. Maka praktek memotong pohon tanpa mengetahui gunanya merupakan pelanggaran aturan-aturan budaya dan tradisi. Terdapat kepercayaan bahwa “Ibu pertiwi” mengorbankan badannya- tanahsupaya dapat menghasilkan makanan untuk anak-anaknya (lihat Traube, 1977). Penafsiran orang Timor bahwa nenek moyang mereka biasanya membiarkan tanah (ibu pertiwi) beristirahat setelah setiap musim panen merupakan satu contoh. Ciri pengembaraan (hidup berpindah-pindah) orang Timor Lorosa’e memberi penjelasan atas pengertian dan contoh tersebut. Contoh lainnya, pada masa dulu, berpindahnya orang pada setiap musim merupakan hal biasa, khususnya setelah musim panen karena orang Timor percaya bahwa bagian tanah yang sudah dipanen dan menghasilkan tanaman akan terkupas habis kualitasnya (merasa lelah) dan harus dibiarkan istirahat untuk sementara. Dengan demikian musim panen berikutnya seharusnya dilakukan di tempat lain. Tujuannya adalah untuk memelihara tanahnya (husik rai bokur, secara harfiah, menggemukkan tanahnya), supaya hasilnya lebih banyak di tahun berikutnya. Orang Timor berkata: “kita mencintai tanah kita dan harus memeliharanya, kalau tidak, dia tidak akan menghasilkan makanan”. Tanah, batu, pohon dan sungai kecil merupakan bagian dari tubuh ibu pertiwi.“Ibu pertiwi” akan melihatkan kemarahannya dengan membiarkan hasil panen tidak baik, menyebabkan gempa bumi dan menyebabkan penangkapan ikan terganggu dan sebagainya.
Ketiga, untuk “melindungi” lingkungan hidup, masyarakat Timor memakai “tanda larangan” (horok, lulik) supaya mencegah penyalahgunaan tanahnya. Tanda tersebut terdiri dari daun kering (ai tahan maran), sebuah ikatan daun sirih (bua ho malus) atau setengah kelapa (nu’u sorin baluk), biasanya ditaruh di pintu masuk tempat tinggal atau kebun. Selain menunjukkan kepemilikan atas tanah itu, tanda tersebut juga melarang orang masuk ke tanah orang lain dan mencegah adanya perbuatan pencurian. Horok atau lulik juga digunakan untuk mencegah kehancuran atau untuk menghindari kelakuan yang dapat merusak lingkungan hidup, seperti perusakan lingkungan, tubuh ibu pertiwi.
Memang, dalam ceritanya tentang kehidupan Uskup Ximenes Belo, Arnold Kohen menggambarkan bagaimana eratnya hubungan orang Timor dengan tanahnya (1999:47) dan bagaimana setianya orang terhadap agamanya. Tanah adalah tempat mereka tinggal, di mana garis keturunannya terbentuk, di mana tanaman-tanamannya ditanam, di mana kuburan nenek moyangnya terletak, dan, hal yang paling penting, di mana asal usulnya dapat diusut. Pemimpin-pemimpin politik Timor, di riwayat hidupnya, mengakui pentingnya “tanah” (diterjemahkan sebagai tempat lahir, moris fatin), dalam kehidupan mereka (lihat Ramos-Horta, 1987; Bishop Belo di Kohen, 2000). Xanana Gusmão terkenal terhadap komentarnya beberapa tahun yang lalu: “hutan saya adalah universitas saya”. Kakek saya sendiri dulu suka berkata: “moris fatin saya adalah sekolah saya”.

VI. Penutup

Sebagai pentutup, apabila membicarakan masalah budaya dan lingkungan hidup di Timor Lorosa’e, kita harus memperhatikan bagaimana budaya dan lingkungan hidup dipahami dalam konteks masyarakat lokal. Kita dapat memakai konsep yang paling canggih untuk menjelaskan artinya budaya dan menerapkan teknik yang paling mederen untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup. Akan tetapi, pendekatan demikian, menurut pandangan masyarakat setempat, mempunyai arti lain, misalnya merusak lingkungan hidup mereka akibat tidak diperhatikannya kebiasaan mereka atau merendahkan nilai-nilai dan budaya lokal.
Dalam persepsi masyarakat Timor Lorosa’e, lingkungan hidup tidak terbatas pada tanah atau tempat tinggal. Lingkungan hidup adalah kehidupan kita. Lingkungan hidup merupakan tempat asalnya suatu klan, tempat garis keturunan terletak dan terbentuk, tempat letaknya kuburan nenek moyang, tempat letaknya tempat suci untuk sembahyang dan tempat kudus lainnya yang berhubungan dengan kosmos masyarakat tradisional.
Pengertian masyarakat Timor Lorosa’e tentang budaya dan lingkungan hidup adalah sa,a dengan pandangan mereka tentang dunia yang mereka hidup. Dua-duanya adalah komponen hidup yang penting, dan saling mendukung. Yang satu menentukan kelakuan yang satu, dan sebaliknya. Budaya, dalam persepsi orang Timor, berarti melestarikan “lingkungan”, dan lingkungan tidak akan ada apabila budaya tidak juga dihormati. Dua-duanya saling terkait, dan merupakan kunci kelangsungan hidup manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar